Tak terhitung banyaknya malam yang ia hitung dengan jemari kurusnya di kamar isolasi sempit yang berbau obat.
Untuk apa ia disana? Jangan tanyakan itu padanya. Pertanyaan itu berumur sama dengan lamanya ia disana. Jawban yang bisa diberikannya hanya tatapan kosong dan kepala yang menggeleng. Hanya itu.
“Aku pikir dia bisu.”
“Aku belum pernah mendengar suaranya. Dia yang paling aneh.”
“Ya. Tak pernah berontak untuk minum obat atau disuntik. Tak pernah,”
Bisik-bisik seperti ini selalu didengarnya, dari dua wanita yang rutin memasuki kamarnya, memberi bermacam pil dan makanan. Mereka kadang mengajaknya bicara, getol pada hari-hari awal dan menyerah pada akhirnya.
Ia seperti ditinggalkan suaranya. Seperti mimpi yang meninggalkannya. Seperti hidup yang perlahan-lahan menjauh, menyeretnya dalam kesunyian, sepi, yang entah bagaimana justru membuatnya nyaman. Semakin menenggelamkan diri dalam sel persegi berbau obat, diam dan hanya melempar pandang kosong pada apapun yang ditatapnya.
Tidak, tidak. Aku tidk bisu. Suara yang meninggalkanku. Aku berusaha meraihnya, tapi dalam sel kotak ini, dariman aku mendapatkannya? Darimana aku mendapat mimpiku? Kenapa aku disini? Tak ada yang kukenal disini. Mereka-mereka yang berlalu lalang seperti memakai topeng. Apa pedulinya mereka? Menanyakan bagaimana keadaanku, apa pentingnya buat mereka? Dan aku hanya akan diam disini. Sampai suara mendatangiku.
Dan begitulah ia. Mematung. Patung yang bernapas. Kasak-kusuk yang lebih kejam berkata oksigen yang dihirupnya akan jauh lebih bermanfaat bila dihirup orang lain.
Aku terluka. Terbunuh oleh masa lalu dan kesunyian. Jiwaku mati. Aku tak sanggup bermimpi. Tak sanggup berpijak tanah, bertemu matahari dan disapa angin. Aku mati. Mati.
Sampai hari ini.
Tersentak dari tidurnya yang sebentar. Suaranya mendadak kembali. Dan jerit-jeritnya memenuhi lorong, membuat dokter jaga berdatangan. Di kamar isolasi itu, ia bergerak kesetanan. Berteria-teriak tak jelas. Dua dokter memegangi lengannya.
“Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku!” ia lemas beberapa saat. Kemudian ia menggila lagi. “Biar! Biarkan aku! Biarkan aku!”
Dokter mengendurkan pegangannya. “Biarkan aku!”
Ia lemas lagi. Diam mematung, tak berontak walau dokter sudah melepaskannya. “Biarkan aku…” bisiknya. “Menangis.” Dokter terdiam. Dan mengalirlah sisa malam itu. Ia menjerit, menangisi sisa hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar