Jumat, 03 September 2010

kenangan biru

Coba-coba bikin cerita remaja yang tokohnya bukan Niz, dan temanya bukan si Lili. Jadi, tadi iseng mampir di situs cerita remaja. Rata-rata isinya tentang percintaan, jadi iseng bikin yang sejenis. Ini aseli loh, buatan saya. Tapi kok ya, rasanya beda aja…maklum, nggak pernah bikin cerita ginian. Jadi kalo aneh ya maap, namanya juga amatir bin kapiran. Hihihi. Mariii…baca-baca. Cekidot (baca : check this out!)

Sudah tiga bulan berlalu sejak peristiwa itu. Tapi sampai sejauh ini, Vanda tetap diselimuti awan mendung. Dia masih suka mengurung diri di kamarnya yang sunyi, menangis diam-diam. Prestasi sekolahnya menurun, meskipun tidak drastis. Segala upaya juga telah dilakukan teman dekatnya agar bisa mengembalikan Vanda yang seperti dulu, Vanda yang ceria, tak berhasil.

Sore itu sepulang sekolah, Vanda mengamati rumah kosong di depan rumahnya lebih ramai. Beberapa orang mengangkut perabotan rumah tangga dari mobil boks ke dalam rumah itu. Diantara orang-orang itu, ada cowok yang tengah mengangkut kardus. Ketika melihat Vanda, dia berhenti dan tersenyum. Vanda tersenyum kikuk. Senyuman itu! Wajahnya… Batin Vanda. Seperti mengingatkanku kepada… Vanda menggeleng, dan mempercepat langkahnya ke rumah.

Sampai di rumah, Vanda tidak keluar kamar hingga malam menjelang. Dia masih memikirkan senyum cowok itu. Bersama itu, sekelebat kenangan manis bersama Rino juga membayang. Tanpa disadarinya, airmatanya jatuh lagi.

“Kak?” Fina, adiknya tau-tau sudah muncul disampingnya.

Vanda menghapus airmatanya, dan berkata galak.

“Sudah kubilang, ketuk pintu sebelum masuk ke kamarku!”

“Sudah Fina ketuk dari tadi, kakak saja yang tidak dengar. Kakak tidak makan?”

“Nanti,” jawabnya pendek.

“Tapi kak…nanti kakak bisa sakit. Kakak belum makan dari tadi.” Fina tidak menyerah.

Vanda tidak menjawab, hanya menatap kosong.

“Tuh kaaan. Kakak seperti itu lagi… ayolah, nanti makanannya dingin.”

Dari pintu yang sudah terbuka, muncul Ibu.

“Vanda, ayo makan.”

Vanda akhirnya menyerah. Dia beranjak dari kamar, menuju meja makan.

Esoknya, Vanda mendapat kejutan. Cowok penghuni baru rumah itu ternyata juga teman sekolahnya.

“Vanda ya?” tanya cowok itu ragu, ketika mereka bertemu di perpustakaan.

“Iya. Kok tau?”

Cowok itu tersenyum. “Aku, Raka. Kamu yang tinggal di depan rumahku…secara aku tau namamu.”

Lalu mereka larut dalam obrolan yang menyenangkan. Vanda dan Raka sama-sama suka basket. Raka juga humoris, yang akhirnya menjadi pemicu sifat lama Vanda yang doyan jahil.

Semakin lama, Raka dan Vanda semakin akrab. Lebih lagi ditunjang dengan lokasi rumah yang berdekatan. Semakin lama juga Vanda merasa layaknya menemukan sosok Rino yang hilang. Vanda menyukai Raka, tetapi juga merasa sakit tiap kali sosok Rino muncul dalam diri Raka. Vanda ingin menghilangkan perasaan itu, tapi sulit. Seakan Rino dan Raka itu satu. Seakan Rino tahu apa yang dirasakan Vanda yang sangat kehilangan, sehingga muncul lagi dalam diri Raka.

Sejak peristiwa kecelakaan itu, Vanda memang sangat merasa bersalah. Ia tak henti-henti menyalahkan diri, meski keluarga Rino pun sudah hampir bisa merelakan Rino. Tapi tidak bagi Vanda. Hari-hari dilaluinya seperti menembus awan gelap yang tidak berujung. Kehilangan, itu pasti. Vanda yang ceria berubah total menjadi Vanda yang pemurung, nyaris tidak mau keluar kamar.

Suatu kali, Raka mengajak Vanda ke kafe. “Ada yang mau aku bicarakan,” alasannya.

Vanda duduk di pojok kafe dekat jendela seperempat jam lamanya. Menikmati gerimis ringan dengan menyesap milkshake-nya.

“Vanda! Apa aku terlambat?” tanya Raka yang baru muncul. Rambutnya yang ikal tampak basah. “Sori, tadi ada urusan sedikit sama klub basket sekolah. Di sekolah hujan deras, jadi kuyup begini deh. Tapi udah beres kok.” Ujarnya sambil duduk di hadapan Vanda.

“Nggak terlambat kok. Aku juga baru datang,” Vanda tersenyum.

Setelah pesanan Raka datang, Vanda langsung bertanya serius, “Sebenarnya, apa yang mau kamu bicarakan?” matanya menatap langsung ke mata Raka. Ah. Lagi-lagi mengingatkannya pada Rino. Vanda langsung mengalihkan pandangannya.

“Kamu kenal sama Rino?” Raka bertanya serius. Baru kali ini dia bertanya tentang Rino.

“Iya…ah, aku…sangat kehilangan dia.” Wajah Vanda tahu-tahu jadi sedih.

“Maafkan aku,” kata Raka demi melihat wajah Vanda yang berubah. “Aku ini sepupunya Rino.”

“Sepupunya?” Pantas anak ini mengingatkanku padanya!

“Aku tahu kamu sangat kehilangan Rino, dari sahabat Rino, Alan. Kemudian, aku seperti terpanggil oleh Rino, untuk coba menghibur kamu. Kamu tahu, Rino sangat sayang sama kamu. Dia sering menceritakanmu padaku. Dan ketika aku harus pindah rumah, pas sekali aku pindah di dekat rumahmu. Jadi, aku bisa melaksanakan, yah, anggap saja amanat dari Rino. Aku mencoba menghibur kamu, dan memang, kamu adalah pemurung. Sebisa mungkin aku mencoba mengembalikan keadaan kamu yang ceria.” Terang Raka panjang lebar.

“Terimakasih atas usaha kamu. Kamu cukup berhasil kok. Aku merasa kekosongan hidupku terisi sejak kenal sama kamu. Dan aku juga merasa…menemukan Rino dalam dirimu.” Vanda mencoba tersenyum.

“Aku yang berusaha menjadi Rino, demi kamu.” Raka ikut tersenyum.

Hening menyelimuti mereka berdua. Hanya terdengar suara musik ringan yang mengalun ke penjuru kafe dan gerimis yang menderas, berubah jadi derai hujan.

“Vanda, awalnya aku hanya ingin membantumu kembali ceria…”

“Tapi dengan menjadi seperti Rino kamu malah tambah menyiksaku. Aku semakin teringat padanya. Usahaku untuk tidak terlalu mengingatnya, jadi sia-sia.”

“Maafkan aku…tapi Vanda…” Raka menggantung ucapannya. “Vanda, aku suka sama kamu. Awalnya aku mancoba mengabaikannya. Tapi…aku sadar, aku menyayangimu. Maukah…”

“Raka,” Vanda memotong ucapan Raka. “Aku juga suka sama kamu. Tapi, bila kamu ingin agar aku bisa menjadi seperti dulu, tidak perlu sejauh ini. Aku takut, bila nanti aku hanya menyayangimu karena Rino. Aku takut nanti kamu tersakiti, kamu hanya berada di bawah bayang-bayang Rino. Aku harus mencoba melepaskan bayangan Rino, lalu aku bisa melihatmu…sebagai Raka. Bukan sebagai Rino. Kamu mengerti kan?”

Raka tidak menjawab.

“Kamu mengerti kan?” ulang Vanda.

“Ya, aku mengerti…” Raka tersenyum.

Hujan yang turun perlahan mereda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar