Senin, 02 Agustus 2010

perkenalan sama guru baru

Hmm, guru baru, apalagi yang masih muda, seger dan baru lulus kuliah, biasanya nggak galak-galak amat dan masih malu-malu kalo ngajar. Seperti juga guru baru yang nyelonong masuk ke kelas Niz.
Nama gurunya, Renny Larasati. Ngajar matematika. Alhamdulillah, batin Niz. Guru matematikanya kayaknya nggak galak deh. Orangnya asli jawa, berperawakan kecil (teman-teman sekelas rata-rata lebih tinggi dari si guru baru), suaranya pelan dan hanya disetel pada volume terendah sepertinya. Jadi Niz dan kawan-kawan harus pasang telinga baik-baik untuk dengar perkenalan darinya. Namanya juga hari pertama, jadi diisi dengan berbasa yang sangat basi, tidak langsung diisi dengan hitung-hitungan menyengsarakan otak.
Tapi sia-sia usaha Niz dengan pasang telinga baik-baik. Suara guru barunya ini tertelan sama keriuhan yang diciptakan dengan penuh kesadaran oleh teman-teman dari spesies cowok. Nggak ngehargain amat.
“Hmm, ada yang mau ditanya lagi?” Bu Renny mempersilahkan dengan hormat murid-muridnya untuk ngorek-ngorek lebih jauh.
“Status! Status! Single apa single parent!” teriak yang di pojok. Ah, mentang-mentang guru baru jadi seenaknya aja pertanyaannya. Coba kalo yang masuk guru senior bertampang dingin. Wiw. Beku.
“Nomor hape!”
“Nomor sepatu?”
“Alamat!”
“Status…” muka si guru baru memerah. “Single dong. Ada yang tertarik?”
“Wuuu…!!” seru yang cowok keki.
“Berlebihan. Nomor hape, ah itu terlalu privasi. Ga usah ya. Ada yang kecewa? Kalo nomor sepatu…emang ada yang mau ngebeliin saya sepatu? Alamat, yang di jawa apa yang di Sorong?”
“Yang di amerika deh pastinya.” Ujar yang di bagian tengah sedikit keki.
“Kalo yang di Sorong, tuh di depan situ.”
“Yang di jawa?” Tanya cowok yang mukanya jawa banget. Joko namanya.
“Di Klaten. Mau main kesana?”
Bu guru itu langsung ngomong ngomong dan ngomong. Mengenai kuliahnya yang biasa aja, sampai cita-cita masa kecilnya yang tertunda. Jadi astronot, katanya. Mengenai dirinya yang baru kali ini menginjak tanah Sorong, tambah kerinduan akan kampung halaman. Semuanya deh. Tapi cerita itu lagi-lagi tertelan sama keributan dari makhluk-makhluk cowok yang malah asyik ngerumpi kesana kemari layaknya ibu-ibu PKK lagi arisan.*What? Ibu-ibu?*
Kemudian, dengan niat tulus ikhlas pengen tau lebih jauh tentang murid-muridnya yang manis-manis ini, bu Renny mulai mengabsen dan nanya darimana asalnya.
“Aji Wahyu Setianto?”
Yang punya nama angkat tangan. Untung nggak angkat barbell. Kan berat.
“Asalnya?”
“Dari…dari…Jawa bu!”
“Oh… lanjut ya. And..and…?? gimana nih bacanya?” Bu Renny nanya sama yang duduk di depan.
“Bambang, bacanya bu!” sahut yang ditanya ngasal.
“Andre bu!” sahut yang dibelakang, empunya nama.
“Oh iyah, maaf. Andrew…euh, Putt..ti..leihalat?” Bu Renny tampak kewalahan dengan namanya, yang sebenernya sih nggak susah-susah amat dibaca. Tapi yah…namanya juga orang yang baru nginjak tanah timur. Nama-nama marga seperti itu jarang ditemui di tempat asalnya.
Kemudian lanjut terus…
“Soni P. Butar-Butar?” Bu Renny balik badan sambil nutup mulutnya pake daftar absen. Mau ngakak sepuas-puasnya. Wah. Penghinaan.
Usai membaca daftar absen dengan penuh perjuangan, maklum, teman-teman Niz namanya ajaib-ajaib dan panjang-panjang, bu Renny kemudian menyuruh semua siswa mengeluarkan selembar kertas kosong. Ulangan? Ih mana mungkin. Belajar aja belum. Masa iya ulangan tentang nama-nama siswa? Nggak ada hubungannya dengan matematika…tapi berhubungan dengan fisika. Halah.
“Oke. Diantara kalian, siapa yang suka matematika?”
Nggak ada yang angkat tangan.
“Saya suka kok. Tapi kalo nggak ada gurunya,” ujar Niz.
“Kalo yang nggak suka?”
Nggak ada yang angkat tangan. Pada nggak mau ngaku.
“Baiklaaah. Kalo gitu, tuliskan di kertas kosong, pendapat kalian tentang matematika, juga saran kedepannya gimana. Ini bisa buat referensi saya dalam mengajar.”
Niz yang hobi ngarang dengan pensil yang sehitam arang, sampai nggak sadar tangannya dikitik-kitik sama semut rang-rang, kesenengan. Selembar kertas diisiinya penuh dengan kata-kata dan bukan gambar apalagi animasi. Iyalah. Sampai-sampai diceritakan juga pengalaman nggak mengenakkan sama anjing tetangga di mulut gang. Hii, nggak nyambung. Tapi biarkanlah nggak nyambung, seenggaknya Niz bahagia dengan cara itu. Halah.
Lalu saat tiba masanya kertas-kertas itu dikumpul, Bu Renny segera berkeliling kelas, merebut paksa kertas-kertas dari tangan murid. Sebagian menyerahkan dengan tulus ikhlas, sisanya masih berusaha buat nutupin.
Niz menyerahkan dengan rela tulisan tangannya yang awut-awutan. Meski hobi ngarang, tapi Niz nggak pernah bisa bikin tulisannya rada bagusan dikit. Bahkan cakar ayam pun masih jauh lebih jelek dari tulisannya. Mana tulisannya kecil-kecil dan rapat, dan hampir seluruh kertas ditulisinya dengan semangat ’45.
“Ya ampun. Panjang sekali. Seperti kereta api mainan anak-anak,” gumam Bu Renny. “kamu cocok jadi penulis…kwitansi.”
Niz nyengir di bangkunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar