Puasa Niz
Berhubung bentar lagi puasa, saya mau posting sebuah cerpen karang-karangannya saya. Buat appetizer, biar nggak kaget lagi kalo tiba-tiba besok udah puasa.
Selamat menikmati!
=============================
Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah.
Puasa-puasa gini kantin sekolah Niz jadi sepi. Anak-anak yang biasanya dengan semangat bergerombol di kantin, bergosip gila-gilaan dan makan-makan memenuhi permintaan pernghuni perut, hilang semua. Termasuk Niz yang kalau menurut catatan ibu kantin hobinya duduk di pojokan gelap sama teman-temannya. Terkadang Niz disitu buat ngintipin tikus yang suka numpang lewat sembarangan, menghilangkan selera makan.
Tapi sekarang beda. Namanya juga bulan puasa, selain puasa makan dan minum juga harus nahan nafsu buat ngomongin anak-anak basket yang bau keringet. Niz lebih memilih nongkrong di kelas, sambil sok rajin baca buku. Buku apa sodara-sodara? Buku komik hasil menjarah di rumah sepupunya. Tapi Niz tahun ini punya niat mulia sodara-sodara. Ia pengen berpuasa secara afdhol, tidak seperti tahun lalu yang emang sih nggak makan nggak minum, tapi ngegosip go terus. Jadi kali ini ia benar-benar tidak mau menuruti hawa nafsunya.
Suasana kelas pas istirahat pun lebih ramai dari biasanya. Penghuni kantin pulang kampung ke pos mereka di kelas masing-masing. Meski obrolan dibatasi, tidak lagi menggosip, kelas tetap saja ramai meskipun setengah penghuninya loyo dan lemas nyaris nggak punya semangat hidup. Yang masih semangat, mencoba melawak dengan memberi tebakan basi dan ngaco.
“Ah, kamu murung aja. Saya jadi ingat tebakan nih. Hoi, apa bedanya pemurung dan pemuluuuung??” Tere dengan semangat memberi tebakan.
Ina, Dewi dan Vita yang ngegerombol sama dia menjawab kompak : “Pemurung adalah orang yang tidak pernah merasa gembira, sedangkan pemulung adalah olang yang tidak pelnah melasa gembila…!”
“Yah, kok tau sih??”
“Iyalah, dari kemarin kan kamu udah ngasih tebakan itu!”
Niz jadi tertarik. Dia menghampiri mereka berempat.
“Coba tebak nih yaa… apa yang kalo pagi di dapur, kalo siang nangkring di pohon mangga?”
“Apaan? Emang ada?” Tanya Dewi.
“Ada dong.”
“Jawabannya apa?” desak Ina penasaran.
“Panci .”
“Kok panci?”
“Ya terserah dong. Panci panci saya kok…” ujar Niz kalem lalu kembali ke tempatnya.
“Wuuu…”
***
Esoknya nggak berubah seperti kemarin. Malah lebih parah, anak-anak sudah nggak ada yang minat main tebak-tebakan. Boro-boro main tebak-tebakan, bisik-bisik sama ketawa aja udah males.
Pada pelajaran kedua, biologi, bu wali kelas membawa anak baru. Namanya Ria. Langsung didudukkan di sebelah Niz,yang kebetulan penghuninya lagi nggak enak badan komplikasi panu.
“Hi! Enjoy your new class, and I am Niz, your new good and pretty friend!” Niz langsung memperkenalkan diri, sok nginggris dikit, padahal pelafalannya masih belepotan.
“Aku, Ria.” Ria dengan kalem memperkenalkan singkat dirinya, kemudian dengan tekun mengikuti pelajaran yang tengah berlangsung.
Pas istirahat, baru deh ketahuan kedok Ria yang sebenarnya. Anaknya nggak bisa diam banget. Berhubung Niz yang duduk disebelahnya, jadi mau nggak mau harus meluangkan telinganya untuk mendengar ocehan Ria. Padahal jangankan minat untuk ngobrol, mendengarkan saja udah males banget.
“Ya ampun, liat orang itu saya jadi ingat sama pacar saya yang dulu…sama-sama cowok soalnya. Dan juga…”
“Ehm, Ria, bisa nggak, nggak ngomongin orang gitu?” Niz menyela pembicaraan Ria. “Saya takut jadi ikut ngomongin orang juga…”
“Oh iya, saya lupa. Ini bulan puasa ya. Makasih udah ingatkan. Kalo kucing boleh kan? Kucing tetangga saya waktu di rumah lama itu, lucu banget. Masa punya empat kaki? Tapi pemiliknya itu lho. Sombong banget. Baru segitu aja udah sombong sampe segitunya. Huh. Trus…”
Ya ampun! Niz lebih memilih untuk kembali menekuni buku biologi yang sempet-sempetnya dibuka dalam waktu istirahat.
Pulang sekolah, Niz pulang naik bus kota bareng Ria, karena setelah ditelusuri menggunakan jasa pet detective, rumah Ria ternyata searah sama rumah Niz.
Di bus, mereka berdua syukur Alhamdulillah, dapat tempat kosong. Jadi bisa duduk manis memandangi pemandangan jalan yang berdebu. Ria kembali mengoceh nggak berhenti-berhenti kecuali kalo kepalanya kejeduk akibat dari ulah supir yang rada ugal-ugalan.
“Oh ya, Niz. Kita ke mall yuk?”
“Ke mall?” ulang Niz. Sebenernya males banget, pengen langsung ke rumah dan leyeh-leyeh sampai waktu berbuka puasa.
“Iya, ke mall. Kemaren saya lihat baju bagus banget. Tenang aja, saya beliin kamu sesuatu deh!”
Wow, bakal dibeliin nih! Sorak Niz dalam hati. Tapi…siang ini panas banget. Enaknya sih di rumah, tidur siang sampai magrib.
“Tapi…”
Dan Ria kembali membujuk Niz, dan akhirnya, entah bagaimana caranya, mereka berdua turun di depan sebuah mall.
Di dalam mall, naluri shopaholic Ria menjadi-jadi. Dengan semangat ’45, anak itu menyeret Niz yang lemes mengobrak abrik toko-toko baju. Seakan nggak puas di satu toko, dia kembali mangajak Niz keluar masuk toko. Nggak dapat yang dia cari, malah kembali ke toko pertama. Niz keki berat. Kemudian, Ria ngajak muter-muterin mall, nyari barang baru.
Setelah kaki Niz rasanya mau patah saking pegelnya menemani Ria belanja, Ria memenuhi janjinya pada Niz. Dia membelikan Niz beberapa aksesori rambut dan sebuah topi keren.
“Oh my god, Niz. Kamu lemes banget. Ayok kita makan dulu. Saya traktir,”
“Tapi, saya kan puasa!”
“Nggak. Kamu kelihatan lemes, saya takut kamu malah jadi sakit. Ayolah.” Ria terus membujuk.
Niz mikir. Dia emang udah lemes dan nyaris dehidrasi. Terus dia juga membayangkan suasana buka puasa di rumahnya. Bapaknya kerja, kalo buka puasa di luar. Ibunya juga orang sibuk. Sedang adiknya, si Lili suka nggak peduli sama Niz.
Sedangkan Ria terus membujuk sampai bibirnya kering. Dan akhirnya Niz terbujuk rayuan pulau kelapa si Ria, dan sekarang harus tabah kembali diseret Ria masuk ke food court.
***
Sampai di rumah sudah sore. Bentar lagi azan magrib menggema.
“Niz, kamu dari mana saja? Itu ibu udah bikinin kamu pudding mangga. Kata Lili, kamu paling suka makan mangga.” sambut ibunya di dapur.
“Yoyoy, Niz. Tadi Lili ke supermarket sama ibu, Lili beliin cokelat tuh, di meja.” tambah Lili.
Niz melirik ke meja makan. Benar saja, sebatang cokelat Cadbury kesukaannya bertengger manis disitu.
Tak lama, bapaknya datang. Membawa ayam goreng Kentucky, lagi-lagi kesukaan Niz.
“Lho, bapak tumben pulang cepat?”
“Sekali-sekali nggak apa-apa dong. Pengen buka puasa di rumah,” kata bapak. “Kalian semua masih puasa kan?”
“Masih dong!” sambar Lili cepat.
Sedangkan Niz tentu saja nggak ngaku kalo puasanya batal. Ya Allah, nyesel banget dia hari ini.
Azan magrib berkumandang. Tapi Niz nggak menyerbu meja makan dengan semangat seperti Lili. Dia mengeluarkan hapenya, menelpon Ria.
“Sialan kamu, Ria!!!”
Lalu cepat-cepat dimatikan hapenya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar