Kamis, 22 Juli 2010

Sekolahku, Surgaku

saya punya cerpen nih. dulunya bikin buat tugas matematika. daripada disimpan di laptop terus, lama-lama berdebu, mendingan saya posting disini. selamat menikmati!
============


inar matahari pagi yang silau menelusup masuk lewat jendela kamarku yang bertirai putih. Sementara jam beker tergeletak di lantai, setelah menunaikan tugasnya dan ku lempar karena kesal.
Mataku berkerinyit menahan silau. Tapi bukannya bangun, aku malah menarik lagi selimutku hingga menutupi kepala. Kemudian, ketukan halus berulang-ulang terdengar.
“Irwan…Irwan..bangun, sudah siang. Kamu harus sekolah!” itu suara Ibu.
Dengan malas, aku melempar selimut yang tadinya menutupi tubuhku hingga jatuh ke lantai.
Sekolah! Huh, itu kewajibanku yang aku tak tahu apa manfaatnya. Yah, mungkin manfaatnya hanya untuk mendengar ceramahan guru, mengerjakan tugas, mendapat hukuman spesial pakai cubit. Yang menyenangkan dari sekolah hanya satu : berkumpul dan bercanda bersama teman. Lainnya? Neraka! Sekolah itu menyeramkan dan membosankan. Tempat kita duduk terpaku mendengar ceramahan guru yang tiada habisnya. Tempat kita terkekang oleh seribu satu aturan layaknya dipenjara.
Itulah sebabnya mengapa aku malas pergi ke sekolah.
“Irwan! Cepat mandi dan berangkat sekolah!” seru Ibu dari balik pintu, mengagetkanku yang tengah termenung.
“Iya, Bu!” dengan ogah-ogahan, aku manuju kamar mandi.
Beberapa puluh menit kemudian, aku sudah sampai di sekolah. Tentunya dengan wajah yang sama sekali tidak bersemangat. Aku memperhatikan wajah-wajah yang memenuhi ruang kelasku pagi ini. Rata-rata menampakkan wajah yang cerah bersemangat. Yang terlihat tidak bersemangat mungkin hanya aku dan beberapa yang lain.
Aku meletakkan tasku dan duduk di tempatku. Aku melirik teman sebangkuku. Farhan. Temanku yang satu itu pikirannya beda denganku. Dia menganggap sekolah layaknya surga, disaat aku menganggap sekolah itu seperti neraka. Dia bilang, sekolah itu menyenangkan. Hah? Menyenangkan dari mana?
Bel tanda pelajaran pertama dimulai, berbunyi. Beberapa saat kemudian, Pak Anton, guru fisika yang terkenal killer , masuk.
Dengan mengucapkan salam dingin kepada kami, Pak Anton memulai pelajaran. Menjelaskan panjang lebar dengan menunjuk-nunjuk papan tulis yang dipenuhi rumus-rumus yang memusingkan. Sumpah, tak ada satupun pelajaran yang kuserap dengan baik. Aku malah semakin mengantuk.
Beberapa puluh menit kemudian, pelajaran fisika berakhir. Pak Anton memberi pesan, “Oke, anak-anak. Belajar yang rajin, terutama mengenai molekul atom. Minggu depan ulangan. Selamat pagi,” kemudian meninggalkan ruang kelas.
Ulangan!! Ini dia salah satu hal menyebalkan lainnya. Aku mengutuk sepenuh hati. Makin malaslah aku ke sekolah kalau seperti ini.
Satu-satunya waktu yang menyenangkan di sekolah adalah waktu istirahat. Saat sejenak penat usai belajar dilupakan, dengan berkumpul dan bercanda dengan teman-teman, dengan memanjakan lidah dengan jajan di kantin.
Ketika tengah menikmati saat-saat bebas seperti ini, bel masuk berbunyi. Huuft… teman-teman lain bergegas masuk ke kelas, tetapi aku tidak ingin masuk kelas. Aku duduk sendirian di kantin. Kali ini aku mau membolos.
Tiba-tiba, tiga orang anak kelas tiga yang terkenal bandel, mendatangiku.
“Hei, siapa lo? Ngebolos juga lo?” Tanya seorang cowok yang memakai anting ditelinganya. Dia adalah Kak Alex.
“I-i-iya, Kak. Sa..saya lagi malas belajar,” jawabku takut-takut.
“Ya udah, lo gabung sama kita aja. Siapa nama lo?”
“Saya Irwan, Kak. Anak kelas 2-IPA 2,”
“Sopan banget lo, pake saya-saya,” komentar cowok lain, yang bernama Kak Danu.
“Disini ga enak. Kita ke tempat biasa aja,” ajak Kak Alex. Aku mengikutinya, begitu juga dengan dua temannya.
‘Tempat biasa’ yang dimaksud Kak Alex ternyata adalah sebuah tempat kumuh dan jorok di belakang gudang sekolah. Aku bergidik melihat tempat itu.
“Nah, lo duduk disini,” Kak Alex mempersilahkanku duduk di sebuah tumpukan kayu bekas bahan bangunan. Sedangkan dia dan dua temannya duduk di sebuah kursi kayu panjang. Mereka mengeluarkan sebungkus rokok dan sebuah korek api.
“Kenapa lo ngebolos? Gua ga pernah ngeliat lo bolos sebelumnya,” tanya Kak Alex sambil memantik api. Aku menarik napas.
“Saya malas belajar, Kak. Bosan.”
“Alasan lain?”
“Saya…saya ngerasa sekolah itu tempat yang kayak neraka. Menyeramkan dan membosankan. Saya juga bingung, buat apa sebenarnya saya sekolah. Saya ngerasa, saya sekolah cuma untuk ortu saya saja,”
“Hmm, kita sama. Jadi biar lo ga pusing, lo cobain ini,” Kak Alex menyodorkan sebatang rokok. Aku tertegun melihat benda itu.
“Ayo, ambil,” desak teman Kak Alex, yang bernama Kak Rio.
“Nggak usah Kak. Makasih,”
“Ah, sok suci lo. Cobain aja,” Kak Alex setengah memaksa. Dengan terpaksa, aku ambil rokok itu.
“Nih, koreknya.” Kak Danu melemparkan korek api.
Aku memantik api, dan membakar rokok itu. Dengan ragu, aku mulai mengisapnya.
“Uhuk..uhuk..” aku terbatuk-batuk. Dengan spontan, rokok itu kubuang.
“Hahahahaha…gitu doang bengek. Anak mami, lo, ya,”
“Saya nggak tahan Kak,”
“Pelan-pelan juga lo pasti ketagihan,”
Suasana di belakang gudang itu sangat tidak nyaman. Kotor dan kumuh. Tapi kenapa Kak Alex dan kawan-kawan betah sekali bolos di tempat ini? Dan aku pun, lama-lama jadi terbiasa dengan suasana itu, dan menikmati mengobrol dengan mereka.
Bel tanda palajaran selanjutnya akan dimulai, berbunyi nyaring. Aku bergegas meninggalkan tempat itu.
“Maaf, Kak, saya harus kembali ke kelas,” pamitku.
“Ya udah, belajar lagi sana..hahahaha..”

Kembali ke kelas, kembali ke tempat yang membosankan. Teman-teman sekelasku tampak heran melihatku yang baru masuk kelas.
“Dari mana kamu, Wan?” tanya Farhan.
“Bolos,”
“Hah, bolos?” Farhan kaget.
“Sst…jangan keras-keras,” sahutku agak panik. Tepat pada saat Bu Ratih yang mengajar Bahasa Inggris memasuki ruangan.
***
Esoknya, aku berniat membolos lagi.
Dan seperti yang sudah kuduga, Kak Alex dan teman-temannya menghampiriku lagi saat di kantin. Sekarang aku sudah tidak merasa canggung lagi dengan mereka. Hanya saja, aku masih tidak tahan merokok.
Kami berkumpul lagi di belakang gudang sekolah. Sekarang tempat itu sudah tak tampak sejorok kemarin. Aku dan teman-teman baruku ini mengobrol dengan seru.
“Oh, jadi disini kalian membolos? Ayo, kalian semua ikut Bapak ke kantor!” kami dikagetkan oleh suara berat Pak Hasan. Kami sudah tak berkutik lagi. Dengan pasrah, kami digiring Pak Hasan ke kantor.
Di kantor, kami diceramahi habis-habisan oleh Pak Hasan. Plus dengan peringatan, sekali lagi kami membolos, maka orang tua akan dipanggil oleh pihak sekolah.
Saat jam pulang, aku dipanggil oleh Bu Siti, guru agama Islam yang juga sebagai tempat curhat para murid di sekolah. Bu Siti terkenal akan kesabarannya dalam menghadapi anak-anak nakal.
“Irwan, kenapa kamu membolos?” tanya Bu Siti lembut. Aku menceritakan alasan-alasanku.
“Oh, begitu ya? Sekarang Ibu mau tanya. Selama ini kamu sekolah karena siapa? Apa yang kamu cari?”
“Saya…mungkin sekolah karena orang tua saya. Pastinya saya sekolah ingin mancari ilmu, Bu,” kalimat terakhirku merupakan jawaban standar dari pertanyaan itu.
“Ketika kamu berangkat ke sekolah, sebenarnya kamu itu sekolah karena Allah. Allah yang Maha Berilmu. Ketika kamu mendapat ilmu, bukankah kamu merasa senang? Kamu merasa senang karena kamu sedang mendekat kepada Allah Al-Alim. Jadi, bila kamu mangabaikan sekolah, sebenarnya siapa yang kamu abaikan?”
Aku tersentak mendengar kata-kata Bu Siti.
“Irwan, sekolah itu bisa menjadi surga karena kamu dapat menciptakan surga di sekolah. Ketika kamu menciptakan kasih sayang di sekolah, kamu sedang dekat dengan Allah. Ketika belajar, kamu sedang dekat dengan Allah Al-Alim. Dan ketika kamu sedang belajar matematika, kamu sedang mendekatkan diri kepada Al-Hasib, yang Maha Berhitung.”
“Jadi…bila saya belajar, saya sedang dekat dengan Allah, ya Bu?”
“Iya. Mulai saat ini, jangan lagi kamu malas sekolah karena Allah Al-Alim memberikan ilmu kepadamu melalui guru-gurumu. Ingat ini. Jadikan jalanan menjadi sajadahmu, buku dan pulpen menjadi tasbihmu.”
“Oh...” aku tertunduk dalam. Aku memikirkan, berapa kali aku mengabaikan sekolah, berapa kali aku tak ingin menerima pelajaran?? Sebenarnya, di saat itu aku menjauh dari Allah!!
“Iya, Bu. Mulai sekarang: sekolahku, surgaku.” kataku mantap. Bu Siti tersenyum lega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar